Berita Muhammadiyah, SURABAYA – Harga obat di Indonesia masih tergolong mahal, Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim dorong pemerintah kerja sama dengan perguruan tinggi turunkan harga obat.
Sengkarut harga obat di dalam negeri diharapkan akan terselesaikan jika pemerintah menggandeng perguruan tinggi, sebab perguruan tinggi memiliki sumber daya manusia yang mampu mengembangkan obat-obatan.
“Saya yakin perguruan tinggi kita mampu kalau diberi kepercayaan. Ketika masa pandemi Covid-19 dulu, beberapa perguruan tinggi di Indonesia juga mampu mengembangkan vaksin,” ujar Ketua MPKU PWM Jatim Dr. Mundakir, Kamis (5/7).
Obat mahal harus menjadi perhatian serius, baik bagi masyarakat maupun pemerintah. Sebab, kondisi ini berdampak besar karena beban masyarakat terutama dari golongan ekonomi menengah ke bawah yang kesulitan mendapatkan obat.
“Ketidakmampuan mereka membeli obat lantaran harganya yang tinggi itu menyebabkan pengobatan tertunda atau tidak optimal,” tegas wakil rektor Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya ini.
Kata dia, problem obat mahal sudah berlangsung sejak lama. Harga obat dan alat-alat kesehatan di dalam negeri diketahui jauh lebih mahal 300-500 persen, atau 3-5 kali lipat dibanding negara tetangga termasuk Malaysia.
Fakta ini telah memantik reaksi pemerintah. Dalam rapat internal bersama menteri, Selasa (4/7/2024), Presiden Joko Widodo meminta jajaran kabinet, khususnya Kementerian Kesehatan untuk memastikan harga alat kesehatan (alkes) dan obat-obatan dapat ditekan turun agar setara dengan negara-negara lain.
Penyebab obat mahal juga telah disampaikan Menkes Budi Gunadi Sadikin. Salah satunya adalah inefisiensi perdagangan. Oleh sebab itu, perlu ada tata kelola yang lebih transparan untuk mencari kombinasi semurah mungkin bagi pengadaan alat kesehatan dan obat-obatan di Indonesia.
Mundakir menjelaskan, kerja sama pemerintah dengan perguruan tinggi bisa memaksimalkan sumber daya manusia yang berkompeten dan fasilitas penelitian yang dapat digunakan untuk mengembangkan obat-obatan baru.
“Pemerintah bisa mendukung pendirian fasilitas produksi obat di kampus atau menjalin kerja sama dengan industri farmasi lokal untuk memproduksi obat hasil penelitian perguruan tinggi,” sebut dia.
Mundakir lalu menceritakan pengalamannya ikut International Winter School (IWS) tahun 2023 yang diselenggarakan Tehran University of Medical Sciences (TUMS). Di sana, dia mengunjungi Endocrine and Metabolism Research Institute (EMRI), salah satu dari 50 pusat penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran dasar klinis dan eksperimental di bidang endokrinologi dan metabolisme dengan fokus pada diabetes dan osteoporosis.
TUMS juga punya Pharmaceutical Incubator (PI), tempat riset dan produksi obat-obatan. Incubator ini memiliki 12 perusahaan afiliasi sebagai pengembangan produksi dan pemasaran dari produk yang dihasilkan.
“Di sana sudah bisa memproduksi 120 produk farmasi penting dan telah meluncurkan 60 produk farmasi baru. Jenis obat yang dikembangkan antara lain obat jenis tablet, kapsul, inhaler, dan obat injeksi,” ungkap Mundakir yang mengaku majelis yang dipimpinnya kini menaungi 36 rumah sakit dan 50 klinik.
Lewat pengalaman itu, imbuh dia, perguruan tinggi di Indonesia diyakini mampu melakukan hal serupa, bahkan lebih baik.
“Political will atau kemauan politik pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah harga obat mahal melalui kolaborasi dengan perguruan tinggi,” pungkas Mundakir.