Berita Muhammadiyah, MALANG—Dari saat terbangun hingga saat kembali terlelap, smartphone selalu ada di genggaman. Demikian disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dalam acara Pengajian Dosen dan Karyawan Universitas Muhammadiyah Malang pada Rabu (03/07).

Sulit rasanya untuk melepaskan diri dari benda kecil ini yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Mengendalikan penggunaan smartphone bukanlah perkara mudah. Haedar sering kali melihat pemandangan di mana dua orang duduk berdekatan, entah itu suami istri atau teman, namun mereka tidak berbicara satu sama lain.

“Kita bisa duduk berdua, entah itu suami istri, atau kawan bersama, duduk bersama tapi gak ngobrol. Asyik dengan benda satu ini. Banyak orang yang berjumpa tapi tidak bertemu. Hadir secara fisik tapi tidak berinteraksi,” ucap Haedar dengan ironi.

Bahkan, kata Haedar, aktivitas yang seharusnya khusyuk seperti salat pun terganggu. Imam sedang melantunkan bacaan dengan indah, tiba-tiba dering suara smartphone yang lupa di-silent memecah konsentrasi. Hal-hal kecil seperti ini ternyata mampu mengubah ritme hidup manusia secara signifikan.

Menurut Haedar, media sosial telah menjadi simulakra, yaitu realitas buatan yang awalnya tampak maya, namun kini menjadi nyata dan mempermainkan manusia. Realitas buatan ini menciptakan dunia pasca-kebenaran. Hasilnya ialah kelakuan netizen menyikapi sebuah berita bombastik; kadang hanya membaca judul tanpa menelaah isinya, namun langsung membagikannya.

Haedar menuturkan bahwa keberislaman dalam realitas baru ini memerlukan reaktualisasi. Di satu sisi, manusia tidak bisa lepas dari smartphone, namun di sisi lain mereka harus tetap menjadi diri sendiri, terutama sebagai hamba Allah. Tugas umat Islam adalah menjadi pengabdi setia kepada-Nya, tidak menyekutukan-Nya, selalu melaksanakan perintah, dan menjauhi larangan dalam kehidupan yang semakin kompleks ini.

Dengan demikian, Haedar mengajar agar bijak dalam menggunakan teknologi, memastikan bahwa tetap dapat berinteraksi secara nyata dengan orang-orang di sekitar, dan tidak membiarkan teknologi menguasai hidup. Hanya dengan begitu bisa tetap menjalani hidup dengan seimbang, sesuai dengan ajaran agama dan nilai-nilai kemanusiaan.