Warga yang tergabung dalam Forum Masyarakat Borobudur Bangkit (FMBB) menggelar unjuk rasa di luar pagar Candi Borobudur pada Minggu (tanggal). Aksi ini dilakukan untuk menyampaikan tujuh tuntutan yang mereka anggap penting bagi pemulihan ekonomi dan pengelolaan kawasan wisata Borobudur. Unjuk rasa ini dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat, termasuk tokoh masyarakat, budayawan, pelaku wisata, pedagang, dan organisasi masyarakat.

Ketua FMBB, Puguh Tri W., menjelaskan bahwa situasi dan kondisi di kawasan Borobudur yang kompleks memerlukan upaya bersama untuk mencari solusi. “Kami merapatkan barisan, antartokoh masyarakat, budayawan, spiritualis, pelaku wisata, penyedia jasa wisata, pemilik destinasi wisata, pedagang, pengusaha, ormas, dan birokrat dalam FMBB dengan semangat crowdsourcing dan crowdfunding. Ini menunjukkan komitmen bersama, kepentingan bersama, dan kepemilikan bersama atas FMBB,” ujarnya.

FMBB mengajukan tujuh tuntutan prioritas yang mereka sebut sebagai “Sapta Dharma“. Tuntutan pertama adalah membuka kembali pintu 1, 2, dan seterusnya di Candi Borobudur untuk pengunjung. Menurut mereka, penutupan pintu-pintu tersebut telah mematikan perputaran ekonomi di kawasan Ngaran 1, 2, Jalan Medang Kamulan, Jalan Badrawati, Jalan Balaputradewa, dan sekitarnya. Dengan dibukanya kembali pintu-pintu tersebut, diharapkan aktivitas ekonomi di kawasan itu dapat pulih.

Tuntutan kedua berkaitan dengan nasib pedagang di Pasar Kujon. FMBB menyoroti tidak lakunya dagangan di pasar tersebut, yang menyebabkan pemiskinan, konflik antarpedagang, dan masalah sosial lainnya. Mereka meminta dukungan berupa voucher pembelanjaan yang terintegrasi dengan penjualan tiket Candi Borobudur untuk membantu para pedagang.

Selain itu, FMBB menolak pembukaan restoran Prana Borobudur di zona 2. Menurut mereka, restoran tersebut menjual makanan, suvenir, dan oleh-oleh yang mengingkari kesepakatan bersama dan membuat Pasar Seni Kujon semakin sepi. “Ini merugikan pedagang lokal dan mengancam keberlangsungan ekonomi mereka,” tegas Puguh.

Tuntutan keempat adalah pemenuhan hak pedagang Sentra Kerajinan dan Makanan Borobudur (SKMB). Hingga saat ini, para pedagang tersebut belum mendapatkan kios untuk berdagang di kawasan Candi Borobudur. FMBB meminta agar hak mereka segera dipenuhi agar dapat berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi di kawasan wisata tersebut.

Tuntutan kelima adalah penolakan terhadap pembatasan jumlah pengunjung Candi Borobudur. FMBB menilai pembatasan pengunjung hingga 1.200 orang per hari atau 150 orang per jam/sesi membuat kawasan Borobudur terlihat sepi. Mereka mengusulkan agar jumlah pengunjung ditingkatkan menjadi lebih dari 10.000 orang per hari untuk mendongkrak kunjungan wisata.

Selanjutnya, FMBB mendukung revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 Tahun 2024 tentang Rencana Induk Pariwisata Nasional (RIPDN) dan Perpres Nomor 101 Tahun 2024 tentang Tata Kelola Kompleks Candi Borobudur. Mereka berharap revisi ini dapat mengakomodir kepentingan masyarakat lokal dalam pengelolaan kawasan wisata.

Tuntutan terakhir adalah dukungan terhadap peran aktif masyarakat lokal dalam pengelolaan Candi Borobudur. “Sapta Dharma ini menjadi solusi jangka pendek, dan menjadi penting agar masyarakat ikut dilibatkan dalam pengelolaan, pemanfaatan, pengembangan, serta pelestarian Candi Borobudur,” kata Puguh.

Menanggapi tuntutan tersebut, Corporate Secretary PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko (TWC), Desta, menyatakan bahwa aspirasi FMBB telah disampaikan kepada pemerintah pusat melalui TWC. “Kami menghargai proses yang dilakukan teman-teman FMBB. Harapannya, ini dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat. Kami dari TWC selalu mendukung kolaborasi dan menghargai upaya bersama,” ujarnya.