Kasus dugaan penggunaan pesawat jet pribadi oleh Kaesang Pangarep, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sekaligus putra bungsu Presiden Joko Widodo, menjadi sorotan publik dan menimbulkan berbagai spekulasi terkait gratifikasi.
Meskipun Kaesang bukan pejabat publik, posisinya sebagai anggota keluarga Presiden RI membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merasa perlu untuk melakukan klarifikasi atas dugaan tersebut. Namun, proses pengusutan ini tidaklah sederhana. Sejumlah kompleksitas hukum muncul, terutama terkait kewenangan KPK dalam memeriksa kasus yang melibatkan figur non-penyelenggara negara.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam sebuah wawancara di Serang pada Kamis lalu menjelaskan bahwa Kaesang Pangarep, sebagai bukan penyelenggara negara, tidak memiliki kewajiban untuk melaporkan dugaan gratifikasi. “Yang Anda tanyakan tadi, yang bersangkutan (Kaesang) bukan penyelenggara negara sehingga tidak ada kewajiban hukum untuk melaporkan,” jelas Ghufron.
Baca Juga: Tanpa Anwar Usman, Putusan MK Menutup Peluang Kaesang Maju Pilkada Jateng
Menurutnya, hukum terkait gratifikasi diatur untuk penyelenggara negara seperti bupati, wali kota, atau gubernur. Jika seorang pejabat publik menerima sesuatu yang berpotensi dianggap sebagai gratifikasi, mereka diwajibkan melaporkannya ke KPK. Setelah laporan diterima, KPK akan menilai apakah gratifikasi tersebut harus dirampas oleh negara atau dikembalikan kepada penerima. Dalam kasus Kaesang, karena statusnya sebagai figur non-pemerintah, laporan dugaan gratifikasi tidak masuk ke dalam kewajiban formal hukum yang berlaku.
Meskipun Nurul Ghufron menegaskan bahwa KPK bersikap pasif dalam proses penegakan hukum gratifikasi, tidak berarti lembaga tersebut sepenuhnya mengabaikan kasus ini. Ghufron menambahkan, KPK tidak membatalkan klarifikasi terkait dugaan penggunaan pesawat jet pribadi oleh Kaesang dan istrinya, Erina Gudono. Namun, sebagai lembaga yang bergerak berdasarkan laporan dari penyelenggara negara, KPK hanya bisa bergerak ketika ada indikasi jelas bahwa dugaan gratifikasi terkait dengan posisi atau jabatan publik yang ada dalam lingkup hukum anti-korupsi.
Ketika ditanya mengenai keterlibatan Wali Kota Medan Bobby Nasution, yang juga merupakan kerabat Presiden Joko Widodo, Ghufron menegaskan kembali bahwa KPK hanya menerima laporan gratifikasi dari penyelenggara negara. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Bobby merupakan pejabat publik, jika tidak ada laporan atau indikasi bahwa fasilitas jet pribadi terkait dengan tugasnya, KPK tidak memiliki alasan hukum untuk memeriksa lebih lanjut.
Berbeda dengan pernyataan Ghufron, Ketua KPK Nawawi Pomolango menekankan bahwa KPK memiliki kewenangan untuk menyelidiki dugaan gratifikasi yang melibatkan Kaesang Pangarep. Menurut Nawawi, meskipun Kaesang bukan pejabat publik, posisinya sebagai anggota keluarga Presiden memberikan alasan bagi KPK untuk menyelidiki potensi perdagangan pengaruh (trading influence), yang merupakan salah satu bentuk korupsi.
“Kita harus melihat Kaesang dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara,” ujar Nawawi, menyiratkan bahwa posisi Kaesang sebagai anggota keluarga Presiden tidak bisa diabaikan begitu saja. Menurut Nawawi, jika Kaesang memperoleh keuntungan atau kemudahan, ada kemungkinan bahwa itu terkait dengan jabatan yang dimiliki oleh sanak kerabatnya.
Nawawi juga menjelaskan bahwa pihaknya telah memerintahkan Direktorat Gratifikasi dan Direktorat Pengaduan Laporan Masyarakat KPK untuk menjadwalkan klarifikasi kepada Kaesang terkait penggunaan jet pribadi. “KPK memiliki instrumen hukum untuk mengusut kasus seperti ini,” tambahnya, mengacu pada kemungkinan adanya gratifikasi yang terkait dengan pengaruh jabatan.
KPK juga tengah menyiapkan surat undangan resmi untuk Kaesang agar memberikan klarifikasi. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan bahwa surat tersebut sedang dalam proses pembuatan. “Suratnya sedang dikonsep, surat undangan,” ujarnya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Langkah ini menunjukkan bahwa KPK masih serius dalam menindaklanjuti laporan yang beredar di masyarakat dan media sosial terkait dugaan penggunaan jet pribadi oleh Kaesang dan istrinya. Klarifikasi ini bertujuan untuk memastikan apakah fasilitas jet pribadi tersebut benar-benar berkaitan dengan tindakan gratifikasi atau hanya spekulasi belaka.
Kasus ini menyoroti salah satu tantangan besar dalam penegakan hukum di Indonesia, terutama terkait gratifikasi dan korupsi. Perdebatan mengenai apakah individu non-penyelenggara negara, seperti Kaesang, harus dimintai klarifikasi atau tidak, menggambarkan batas tipis antara hukum dan pengaruh politik. Meskipun Kaesang bukanlah pejabat publik, hubungan dekatnya dengan Presiden Joko Widodo menempatkannya dalam posisi yang sulit untuk tidak disorot.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang menegaskan bahwa gratifikasi terkait pejabat publik harus dilaporkan. Namun, ketika gratifikasi tersebut melibatkan anggota keluarga pejabat publik, undang-undang ini tidak memberikan pedoman yang jelas, sehingga menimbulkan kebingungan tentang apakah tindakan tersebut masuk dalam lingkup kewenangan KPK atau tidak.
Meskipun KPK memiliki tugas besar dalam memberantas korupsi, kasus seperti dugaan gratifikasi terkait penggunaan pesawat jet pribadi oleh Kaesang Pangarep menunjukkan betapa rumitnya menegakkan hukum dalam konteks politik dan keluarga pejabat tinggi. Nurul Ghufron menegaskan bahwa KPK bersikap pasif dalam kasus ini karena Kaesang bukan penyelenggara negara. Namun, Nawawi Pomolango berpendapat bahwa sebagai anggota keluarga Presiden, KPK memiliki kewenangan untuk menyelidiki lebih lanjut.
Dengan masih berlanjutnya proses klarifikasi oleh KPK, publik tentu menunggu hasil dari penyelidikan ini. Apakah kasus ini akan mengarah pada kesimpulan gratifikasi atau tidak, waktu yang akan menjawab. Yang jelas, kasus ini memberikan pelajaran penting mengenai bagaimana hukum anti-korupsi di Indonesia diterapkan, terutama ketika melibatkan figur publik yang memiliki koneksi kuat dengan kekuasaan. (Adinegoro)