Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP) bersama Keluarga Besar Mahasiswa Hukum Pidana FH UNDIP dan Ikatan Alumni Fakultas Hukum bekerja sama dengan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengadakan Seminar Nasional pada Rabu (11/9). Seminar ini bertajuk “Pidana Mati Bersyarat: Jalan Tengah Pro Kontra Abolisionis dan Retensionis”, yang membahas isu kontroversial mengenai penerapan hukuman mati di Indonesia. Seminar ini menghadirkan sejumlah pembicara terkemuka dari berbagai bidang hukum.
Pembicara dan Topik Utama
- Dr. Dhahana Putra, Bc.IP., S.H., M.Si. (Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia, Kementerian Hukum dan HAM RI) menyampaikan materi berjudul Tanggungjawab Negara dalam Pemenuhan Hak Asasi Manusia bagi Terpidana Mati di Indonesia. Dalam pemaparannya, Dr. Dhahana menjelaskan sejarah panjang hukuman mati yang sudah ada sejak zaman Babilonia melalui Codex Hammurabi hingga penerapan hukuman mati di Indonesia. Hukuman mati di Indonesia telah berlangsung sejak masa kerajaan, dan pada 1808, Gubernur Jenderal Daendels memperkenalkan peraturan yang memperbolehkan hukuman mati dalam hukum dan peradilan kolonial. Setelah Indonesia merdeka, hukuman mati diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan menjadi bagian dari pidana pokok.
- Prof. Dr. Pujiyono, S.H., M.Hum. (Guru Besar Hukum Pidana FH UNDIP) membahas tema Pidana Mati Bersyarat sebagai Jalan Tengah Problem HAM dan Pemidanaan. Beliau menyoroti bahwa persoalan hukuman mati tidak hanya sekadar isu Hak Asasi Manusia, seperti right to life dan non-derogable rights sebagaimana diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), tetapi juga berkaitan dengan aspek politik, budaya, sejarah, dan agama. Pidana mati, menurut Prof. Pujiyono, bukanlah persoalan netral dan sering kali melibatkan pertimbangan yang kompleks, termasuk moralitas dan kontrol kedaulatan negara.
- Prof. Dr. Rahayu, S.H., M.Hum. (Guru Besar Hukum Internasional FH UNDIP) menyampaikan materi tentang Mengawal ‘Indonesian Way’ Menuju Realisasi Komutasi Pidana Mati. Beliau menggarisbawahi adanya mekanisme komutasi (pengurangan hukuman) bagi terpidana mati dalam KUHP baru. Mekanisme ini mencakup terpidana mati yang telah menunggu lebih dari 10 tahun tanpa eksekusi, serta mereka yang telah ditolak grasinya dan tidak dieksekusi dalam jangka waktu 10 tahun sejak penolakan. Rahayu juga menyoroti kemungkinan komutasi yang diberikan setelah masa percobaan 10 tahun bagi terpidana mati setelah KUHP baru mulai berlaku, selama mereka memenuhi kriteria tertentu.
- Prof. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. (Guru Besar Filsafat Hukum Universitas Bina Nusantara) memaparkan pandangannya dalam topik Pidana Mati Bersyarat dalam Perspektif Kajian Filsafat (Hukum). Menurut Prof. Shidarta, perdebatan mengenai pidana mati akan selalu menjadi isu abadi dalam filsafat hukum karena baik kelompok yang mendukung maupun yang menolak hukuman mati sama-sama memiliki argumen yang didasarkan pada moralitas, fakta, serta tafsir hukum dan konstitusi. Beliau juga mengungkapkan bahwa kajian terhadap pidana mati sering kali berfokus pada perspektif pelaku, tetapi dalam filsafat hukum, refleksi tentang keadilan sering kali melihat dari sudut pandang korban. Kajian filsafat ini bisa berkembang lebih lanjut jika diperkenalkan dimensi metakausalitas yang lebih transendental dalam diskursus hukum.
Seminar ini menjadi forum penting untuk mendiskusikan isu hukuman mati yang masih menuai kontroversi di berbagai kalangan. Di satu sisi, ada pihak yang mendukung penghapusan (abolisionis) hukuman mati karena alasan HAM dan hak untuk hidup, sementara di sisi lain, ada kelompok yang tetap mendukung penerapannya (retensionis), terutama untuk kejahatan-kejahatan berat. Melalui seminar ini, Fakultas Hukum UNDIP bersama para ahli hukum, akademisi, dan lembaga pemerintah berusaha mencari jalan tengah melalui konsep pidana mati bersyarat.
Pidana mati bersyarat menawarkan solusi di mana hukuman mati tetap dipertahankan untuk kejahatan-kejahatan tertentu, tetapi dengan syarat-syarat tertentu yang memungkinkan pengurangan atau perubahan hukuman jika terpidana menunjukkan perilaku baik atau memenuhi kriteria khusus lainnya. Seminar ini juga membuka ruang dialog mengenai bagaimana Indonesia dapat menemukan “jalan tengah” dalam mengelola isu pidana mati, sehingga tetap menghormati hak asasi manusia tanpa mengabaikan tuntutan keadilan bagi korban kejahatan.
Melalui seminar nasional ini, terbuka wacana penting tentang pidana mati bersyarat sebagai solusi moderat antara kelompok yang ingin menghapus hukuman mati dan kelompok yang ingin mempertahankannya. Isu pidana mati di Indonesia akan terus menjadi topik perdebatan yang serius, baik dari sisi hukum, politik, maupun sosial budaya. Diskusi-diskusi seperti ini diharapkan mampu mendorong terciptanya sistem hukum yang lebih adil dan manusiawi, sejalan dengan perkembangan HAM di tingkat global.