
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid, telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor: 2748/Rek/10/SP/VII/2024 yang meminta agar gelar akademik profesor tidak lagi disandingkan dengan namanya dalam berbagai surat atau dokumen resmi di kampus. Surat edaran ini ditandatangani secara resmi di Yogyakarta pada Kamis, dan merupakan langkah untuk mendesakralisasi jabatan profesor di Indonesia.
Langkah Kultural Desakralisasi
Dalam surat edarannya, Fathul Wahid menyatakan bahwa semua korespondensi surat, dokumen, dan produk hukum selain ijazah, transkrip nilai, dan yang setara, yang sebelumnya mencantumkan gelar lengkap “Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D.”, kini harus ditulis tanpa gelar, menjadi “Fathul Wahid”. Langkah ini, menurut Fathul, adalah sebuah gerakan kultural untuk menguatkan atmosfer kolegial dalam tata kelola perguruan tinggi.
Pernyataan yang kurang lebih sama juga di posting oleh Fathul Wahid dalam aku media sosialnya.

Tanggung Jawab Akademik, Bukan Status Sosial
Fathul menjelaskan bahwa tujuannya adalah untuk menekankan bahwa jabatan profesor merupakan tanggung jawab akademik dan amanah, bukan sebuah status sosial yang perlu diglorifikasi. “Kalau yang saya lakukan, yang kecil ini diikuti saya akan sangat berbahagia dan kalau ini menjadi gerakan kolektif, banyak, kita mendesakralisasi jabatan profesor dan lebih menekankan profesor sebagai tanggung jawab, amanah akademik. Kita berharap profesi ini menjadi terhormat,” ujarnya.
Menjaga Semangat Kolegialitas
Fathul menegaskan bahwa peniadaan gelar ini juga bertujuan untuk merawat semangat kolegialitas, sehingga jabatan profesor tidak menambah jarak sosial di lingkungan kampus. “Saya berharap semakin banyak profesor yang berkenan ikut sebagai gerakan moral simbolik yang bisa menjadi budaya egaliter baru yang permanen,” kata Fathul.
Bukan Kewajiban untuk Lainnya
Meskipun Fathul memulai gerakan ini, ia menegaskan bahwa surat edaran tersebut hanya berlaku untuk dirinya sendiri dan tidak mewajibkan pejabat struktural lain di lingkungan UII untuk mengikuti langkahnya. “Saya tidak bisa memaksa orang untuk mengikuti saya. Saya mencoba menjadikan ini sebagai gerakan kultural. Kalau ini bersambut maka itu akan sangat baik sehingga jabatan profesor ini lebih dianggap sebagai amanah,” jelasnya.
Tantangan dalam Dunia Akademik
Fathul juga menyampaikan kekhawatirannya bahwa semakin banyak profesor di Indonesia, namun tidak mudah menemukan intelektual publik yang konsisten melantangkan kebenaran ketika muncul penyelewengan. “Dengan beban tanggung jawab yang besar, saya tidak ingin di Indonesia muncul sekelompok orang, termasuk para politisi dan pejabat yang justru memburu jabatan akademik tersebut dengan mengabaikan etika,” tandasnya.