Pada Kamis (20/3/2024), DPR RI mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam rapat paripurna. Revisi UU TNI ini mengubah sejumlah pasal terkait tugas dan kewenangan pokok TNI, meskipun menuai kritik dan penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Pengesahan ini dilakukan bersamaan dengan gelombang aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, yang menuntut penolakan terhadap revisi UU TNI.
Poin-Poin Kontroversial dalam Revisi UU TNI
Revisi UU TNI 2025 memuat beberapa pasal yang dinilai bermasalah, di antaranya:
- Perluasan Jabatan Sipil untuk TNI Aktif:
TNI aktif kini dapat menempati 16 kementerian/lembaga, meningkat dari sebelumnya yang hanya membatasi 10 jabatan sipil. Hal ini dikhawatirkan akan memperluas peran militer dalam sektor sipil. - Usia Pensiun yang Diperpanjang:
Pasal 53 dalam draf RUU mengatur usia pensiun prajurit TNI bervariasi antara 55-62 tahun, yang dinilai dapat mempertahankan dominasi militer dalam pemerintahan. - Penambahan Kewenangan dan Tugas TNI:
Kewenangan dan tugas TNI bertambah dari 14 menjadi 17 tugas operasi militer selain perang, yang berpotensi meningkatkan intervensi militer dalam urusan sipil.
Kekhawatiran Masyarakat dan Aksi Penolakan
Berbagai elemen masyarakat, termasuk mahasiswa dan profesional, menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung DPR pada Kamis (20/3/2025). Mereka menolak revisi UU TNI yang dinilai akan menghidupkan kembali dwifungsi militer, seperti yang pernah diterapkan pada era Orde Baru. Kekhawatiran utama adalah dominasi militer dalam kehidupan politik dan sipil, yang dapat mengancam proses demokratisasi di Indonesia.
Massa aksi menyuarakan tujuh tuntutan utama, yaitu:
- Menolak revisi UU TNI.
- Menolak kembalinya dwifungsi militer.
- Menarik militer dari jabatan sipil dan mengembalikan TNI ke barak.
- Menuntut reformasi institusi TNI.
- Membubarkan komando teritorial.
- Mengusut tuntas kasus korupsi dan bisnis militer.
- Memastikan partisipasi publik dalam pembahasan RUU TNI.
Pengawasan dan Kritik dari Pakar
Direktur The Indonesian Intelligence Institute, Ridwan Habib, menekankan pentingnya pengawasan terhadap pelaksanaan UU TNI. Menurutnya, pengawasan harus dilakukan secara internal oleh TNI dan eksternal oleh DPR. Jika kedua mekanisme ini tidak berjalan, publik dapat melakukan pengawasan melalui diskusi publik hingga aksi unjuk rasa.
Ridwan juga menyoroti lemahnya komunikasi publik dalam sosialisasi revisi UU TNI. Padahal, rencana revisi ini telah dibahas sejak pemerintahan Joko Widodo. “Di sinilah perlunya orang-orang di pusat penerangan TNI memiliki gaya komunikasi yang humanis. Jadi aksi-aksi penolakan tidak perlu ditanggapi berlebihan,” ujarnya dalam perbincangan dengan RRI Pro 3, Kamis (20/3/2024).
Pengamanan Aksi Unjuk Rasa
Sebanyak 5.021 personel gabungan dari Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat, TNI, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan instansi terkait lainnya dikerahkan untuk mengamankan aksi unjuk rasa. Kapolres Metro Jakarta Pusat, Komisaris Besar Polisi Susatyo Purnomo Condro, menyatakan bahwa pengamanan dilakukan untuk memastikan aksi berjalan tertib dan mencegah peserta unjuk rasa memasuki Gedung DPR.
Aksi Serentak di Berbagai Daerah
Aksi penolakan terhadap revisi UU TNI tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga digelar secara serentak di Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan daerah lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa penolakan terhadap revisi UU TNI menyebar luas di berbagai wilayah di Indonesia.