Nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan Selasa (11/3/2025) sore. Menurut Bloomberg, rupiah turun 0,25 persen atau 41 poin menjadi Rp16.408 per dolar AS. Pelemahan ini menambah catatan tren negatif rupiah dalam beberapa pekan terakhir, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor global dan domestik.
Pengaruh Kebijakan AS dan Kekhawatiran Pasar Global
Analis pasar uang, Ibrahim Assuaibi, mengatakan pergerakan rupiah masih dipengaruhi kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump. Sikapnya yang berubah-ubah dalam menerapkan kebijakannya itu membuat khawatir pasar keuangan dan pasar saham global.
“Selama akhir pekan, Trump menyebut periode transisi bagi ekonomi kemungkinan besar terjadi,” ujarnya. Namun, Presiden AS itu menolak memprediksi apakah AS dapat menghadapi resesi di tengah kekhawatiran pasar saham tentang tindakannya itu.
Kekhawatiran terjadinya inflasi di AS juga semakin meningkat. Sehingga kemungkinan bank sentral AS, The Fed, akan menunda penyesuaian kebijakannya dalam waktu dekat. Hal ini menciptakan ketidakpastian di pasar global, yang berdampak pada pelemahan mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah.
Dinamika Ekonomi Asia dan Proyeksi Defisit APBN Indonesia
Sementara di Asia, Bank of Japan diperkirakan bakal kembali menaikkan suku bunganya di tengah tingkat inflasi yang tinggi. Di sisi lain, Jepang merevisi produk domestik bruto (PDB) kuartal keempat 2024 menjadi 2,2 persen dari 2,8 persen. Revisi ini menunjukkan perlambatan pertumbuhan ekonomi Jepang, yang turut memengaruhi sentimen pasar di kawasan Asia.
Di dalam negeri, Ibrahim mencermati proyeksi Goldman Sachs Group terhadap defisit APBN. Lembaga keuangan itu memprediksi defisit APBN Indonesia akan semakin melebar dan mendekati batasnya yakni 2,9 persen pada 2025.
“Goldman Sachs juga menurunkan peringkat obligasi negara tenor 10 dan 20 tahun menjadi netral,” ujar Ibrahim. Peringkat saham Indonesia pun direvisi dari overweight menjadi market weight.
Dampak Belanja Pemerintah dan Kebijakan Fiskal
Hal itu dinilai sebagai dampak dari belanja jumbo untuk berbagai program pemerintah. Misalnya seperti makan bergizi gratis (MBG), pembentukan BPI Danantara, dan penerbitan SBN Perumahan. Menurut Ibrahim, ada kekhawatiran atas ketegangan perdagangan global dan pelemahan ekonomi domestik.
“Terutama setelah Presiden Prabowo Subianto mengumumkan serangkaian kebijakan fiskalnya,” katanya. Kebijakan fiskal yang ekspansif ini, meski bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya defisit APBN.
Proyeksi defisit Goldman Sachs lebih lebar dari target pemerintah yang sebesar 2,53 persen. Proyeksi 2,9 persen dari lembaga keuangan internasional itu mendekati batas maksimal yang ditetapkan pemerintah sebesar 3 persen.
Defisit APBN dalam 10 Tahun Terakhir
Selama 10 tahun terakhir, defisit APBN yang melebihi 3 persen hanya terjadi saat pandemi Covid-19 (2020 dan 2021). Saat itu, pemerintah menetapkan pengecualian karena tingginya kebutuhan belanja negara untuk penanganan pandemi. Namun, proyeksi defisit yang mendekati batas maksimal pada 2025 ini menimbulkan tanda tanya besar, terutama terkait dengan kemampuan pemerintah dalam menjaga stabilitas fiskal.