Warga Berita – Koordinator Presidium Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Indonesia, Yaser Hatim menilai Keputusan Pelabelan OPM oleh Panglima TNI Tidak memiliki dasar hukum karena secara legal formal Kebijakan pelabelan status KKB merupakan hasil Rapat Koordinasi Kementerian Polhukam pada 29 April 2021.
“Penyebutan OPM menjadi KKB atau Kelompok Separatis Teroris (KST) berdasarkan Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UU, dengan demikian pelebelan perubahan status KSB menjadi OPM oleh Panglima TNI melampaui kewenangannya dan tidak memiliki dasar hukum,” kata Yaser kepada redaksi di Jakarta pada Minggu, (14/04/24).
Yaser memaparkan bahwa eskalasi konflik, tindakan kekerasan, teror dan penghilangan nyawa manusia secara paksa yang dilakukan KKB terhadap aparat keamanan dan warga sipil masih terus terjadi. Beredarnya video viral di sosial media, Seorang anggota TNI meninggal dunia diserang oleh KKB secara sadis dan brutal merupakan peristiwa yang harus disikapi dengan segera.
“Kejadian ini tentu membuat pilu dan menjadi sorotan masyarakat serta dunia Internasional. Selain itu, pilot Susi air yang masih disandera belum berhasil dilepaskan oleh Tim Gabungan TNI Polri sampai saat ini. kebijakan dan pendekatan penanganan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam menangani KKB di tanah Papua sangat ambigu dan memberikan dampak penanganan yang keliru bahkan tidak menyelesaikan persoalan,” ujarnya.
Ditambah lagi, Panglima TNI Jendral Agus Subianto menerbitkan Surat Keputusan Panglima TNI Nomor STR/41/2024 tertanggal 5 April tahun 2024.
“Dalam surat telegram tersebut, penyebutan OPM bagi kelompok kriminal di Papua mulai berlaku saat ini hingga waktu yang tak ditentukan. Hal ini tentu menjadi persoalan baik dari sisi kebijakan dan strategi diplomasi negara di hadapan dunia internasional,” nilainya.
Korpres BEM-INDONESIA tersebut menilai pelabelan KKB menjadi OPM bisa menjadi celah pengakuan Perjuangan Kemerdekaan Papua.
“Secara harfiah panglima TNI Jendral Agus Subiyanto mengakui perjuangan Organisasi Papua Merdeka, Hal ini tentu keputusan yang tergesa-gesa bahkan kontra produktif dalam usaha penyelesaian konflik di Papua,” tuturnya.
Panglima TNI Jendral Agus Subiyanto juga dianggap melampaui kewenangan presiden sebagai Kepala Negara untuk menentukan status situasi dan kondisi negara baik itu perang, darurat militer, atau darurat sipil.
“Keputusan Panglima TNI harus segera ditarik dan dibatalkan. Selanjutnya, Komisi 1 dan Komisi 3 berhak untuk meminta pertanggungjawaban serta penjelasan dari Panglima TNI Jendral Agus Subiyanyo maupun Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo,” paparnya.
Domain penanganan konflik dan kasus di Papua merupakan ranah Keamanan dalam negeri atau menjadi tugas Kepolisian sesuai dengan UU no 2 Tahun 2002. Kapolri merupakan leading sektor untuk menindak dan menangani KKB dipapua, sementara pelibatan anggota TNI merupakan bentuk perbantuan atas permintaan Kapolri dan hal ini sejalan dengan UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI.
“Kurangnya perhatian dari Kapolri terhadap kebijakan penangan konflik di Papua meninggalkan kekosongan komando sehingga keluarlah Keputusan Panglima TNI tentang perubahan status KKB menjadi OPM,” tutupnya.













