Nafis Munandar
Anggota DPRD Kab Semarang,
Komisi Pendidikan & Kesehatan, Fraksi Keadilan Sejahtera
Pada tahun 1899, bersamaan dengan peralihan kekuasaan atas Nusantara dari VOC ke pemerintahan kolonial Hindia Belanda, Theodor van Deventer, seorang politikus dan advokat Belanda, menulis sebuah artikel berjudul “Een Ereschuld” atau “Utang Budi.” Artikel ini menjadi tonggak penting dalam sejarah kolonial Belanda karena menggugah kesadaran publik Belanda tentang tanggung jawab moral mereka terhadap rakyat Indonesia. Van Deventer berargumen bahwa Belanda memiliki utang budi yang besar kepada rakyat Indonesia atas eksploitasi yang dilakukan selama berabad-abad melalui kebijakan kolonial yang tidak adil. Melalui tulisan ini, ia menuntut agar pemerintah Belanda memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut dengan mengimplementasikan kebijakan yang lebih etis dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat pribumi.
Gagasan van Deventer ini mendapat banyak perhatian dan dukungan, sehingga menjadi landasan bagi pelaksanaan Politik Etis (Ethische Politiek) yang secara resmi diumumkan pada tahun 1901 oleh Ratu Wilhelmina. Politik Etis bertujuan untuk memperbaiki kondisi kehidupan rakyat pribumi dengan memberikan perhatian khusus pada irigasi, pendidikan, dan emigrasi. Salah satu fokus utama kebijakan ini adalah pembukaan akses pendidikan yang lebih luas bagi rakyat pribumi, dengan harapan dapat meningkatkan kualitas hidup mereka serta memperkuat stabilitas sosial dan ekonomi di wilayah kolonial.
Tujuan Politik Etis Pendidikan untuk Pribumi
Pemerintah kolonial Belanda, melalui kebijakan Politik Etis, menetapkan pendidikan sebagai salah satu pilar utama untuk memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi rakyat pribumi. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menciptakan lapisan intelektual pribumi yang terdidik, yang diharapkan mampu berperan aktif dalam pembangunan dan administrasi kolonial. Pemerintah menyadari bahwa dengan memberikan pendidikan yang lebih baik, mereka dapat mengurangi ketegangan sosial dan meredam gerakan-gerakan perlawanan yang muncul akibat ketidakpuasan rakyat terhadap kondisi hidup yang buruk.
Dengan membuka akses pendidikan bagi pribumi, pemerintah kolonial juga berharap dapat membangun generasi yang mampu beradaptasi dengan modernisasi dan perubahan sosial yang terjadi pada masa itu. Pendidikan dianggap sebagai alat penting untuk memperkenalkan nilai-nilai Barat dan mengintegrasikan rakyat pribumi ke dalam struktur sosial dan ekonomi kolonial. Melalui pendidikan, pemerintah berharap dapat menciptakan elit pribumi yang loyal kepada pemerintah kolonial dan mampu membantu menjalankan administrasi serta menjaga ketertiban di wilayah-wilayah yang luas dan beragam.
Sekolah yang Didirikan dari Politik Etis
Dalam rangka melaksanakan kebijakan Pendidikan Etis, sejumlah institusi pendidikan didirikan untuk menyediakan pendidikan tinggi bagi rakyat pribumi. Salah satu yang paling terkenal adalah STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) yang didirikan pada tahun 1851 di Batavia (sekarang Jakarta). STOVIA menjadi sekolah kedokteran pertama yang memberikan pendidikan formal kepada dokter-dokter pribumi, membuka peluang bagi mereka untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan medis yang sebelumnya hanya dimonopoli oleh orang Eropa.
Selain STOVIA, pada tahun 1920 didirikan Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang Institut Teknologi Bandung atau ITB), yang menjadi pusat pendidikan tinggi teknik pertama di Indonesia. Sekolah ini bertujuan untuk menghasilkan insinyur-insinyur pribumi yang mampu mendukung pembangunan infrastruktur dan industri di Hindia Belanda. Kemudian pada tahun 1924, dibuka Rechts-Hogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Batavia), yang menjadi lembaga pendidikan hukum pertama di Indonesia, berfokus pada mendidik para ahli hukum pribumi yang dapat memahami dan menerapkan hukum kolonial serta hukum adat.
Para Lulusan yang Menjadi Motor Pergerakan
Sekolah-sekolah yang didirikan melalui kebijakan Pendidikan Etis melahirkan banyak lulusan yang kemudian menjadi tokoh penting dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Salah satunya adalah Soetomo, seorang dokter lulusan STOVIA yang menjadi salah satu pendiri Boedi Oetomo, organisasi pemuda pertama yang bertujuan untuk meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan rakyat. Soetomo dan rekan-rekannya menggunakan pengetahuan medis mereka untuk membantu masyarakat dan menggerakkan kesadaran nasionalis di kalangan rakyat pribumi.
Tokoh lain yang menonjol adalah Ki Hajar Dewantara (Raden Mas Soewardi Soerjaningrat), yang juga pernah belajar di STOVIA. Ki Hajar kemudian mendirikan Taman Siswa, sebuah lembaga pendidikan yang menekankan pentingnya pendidikan bagi semua golongan rakyat tanpa diskriminasi. Selain mereka, Mohammad Hatta, yang belajar di Handels-Hogeschool di Rotterdam, dan Soekarno, yang menempuh pendidikan di Technische Hoogeschool te Bandoeng, juga menjadi tokoh sentral dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hatta dan Soekarno adalah dua proklamator kemerdekaan Indonesia yang memimpin perjuangan melawan penjajahan Belanda dan membangun dasar-dasar negara Indonesia merdeka.
Dampak Positif Politik Etis Pendidikan bagi Kemerdekaan
Kebijakan pendidikan dalam kerangka Politik Etis memiliki dampak positif yang signifikan bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pendidikan yang lebih baik menghasilkan lapisan intelektual pribumi yang terdidik dan kritis, yang kemudian menjadi pemimpin-pemimpin dalam gerakan nasionalis. Pengetahuan yang mereka peroleh dari pendidikan tinggi memungkinkan mereka untuk mengorganisir dan memobilisasi masyarakat dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda, serta membangun strategi-strategi yang efektif untuk mencapai kemerdekaan.
Selain itu, pendidikan juga membuka wawasan baru bagi rakyat pribumi tentang konsep-konsep modern seperti hak asasi manusia, demokrasi, dan nasionalisme. Hal ini mendorong lahirnya kesadaran kolektif akan pentingnya kemerdekaan dan kedaulatan nasional. Para lulusan institusi pendidikan tinggi ini memainkan peran penting dalam menyebarkan ide-ide baru dan menginspirasi rakyat untuk bangkit melawan penjajahan. Dengan demikian, kebijakan pendidikan yang awalnya dimaksudkan untuk mendukung administrasi kolonial, justru menjadi katalisator bagi gerakan kemerdekaan yang akhirnya berhasil membebaskan Indonesia dari cengkeraman kolonialisme.
Politik Tak Etis Kenaikan UKT
Pada tahun-tahun terakhir ini, pendidikan tinggi di Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan. Pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan akses dan kualitas pendidikan tinggi melalui berbagai program dan kebijakan. Namun, di tengah upaya tersebut, muncul tantangan baru dalam hal pendanaan, yang memicu kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai perguruan tinggi. Kenaikan ini didorong oleh kebutuhan pendanaan yang meningkat guna menjamin kualitas pendidikan tetap terjaga.
Biaya operasional perguruan tinggi terus meningkat seiring dengan perkembangan zaman. Kenaikan gaji dosen, pemeliharaan fasilitas, dan pengembangan kurikulum menjadi faktor utama yang memerlukan dukungan finansial lebih besar. Tanpa kenaikan UKT, pemerintah berpendapat bahwa kualitas pendidikan akan sulit dipertahankan. Selain itu, peningkatan fasilitas dan infrastruktur pendidikan seperti pembangunan laboratorium, ruang kelas, dan penyediaan teknologi modern juga menjadi prioritas yang memerlukan biaya tambahan. Semua ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang layak dan mendukung bagi para mahasiswa.
Namun, masyarakat menunjukkan berbagai reaksi terhadap kenaikan UKT ini. Banyak mahasiswa dan orang tua merasa terbebani oleh kenaikan biaya ini. Demonstrasi dan protes dari kalangan mahasiswa sering kali terjadi sebagai bentuk penolakan. Mereka berpendapat bahwa biaya pendidikan yang semakin tinggi akan semakin membatasi akses pendidikan tinggi bagi kalangan kurang mampu. Keberatan utama datang dari kemampuan ekonomi keluarga yang tidak sebanding dengan kenaikan biaya pendidikan, terutama bagi mereka yang memiliki penghasilan tetap.
Merdeka Belajar tapi Belum Merdeka Biaya Belajar
Salah satu keluhan terbesar adalah kenaikan UKT yang tidak diiringi dengan kenaikan UMR dan gaji orang tua. Kondisi ekonomi yang stagnan menyebabkan banyak keluarga kesulitan untuk menutupi biaya pendidikan yang semakin tinggi. Akibatnya, banyak keluarga yang merasa terbebani secara finansial dan harus mencari cara untuk menyesuaikan pengeluaran mereka. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran tentang kemampuan banyak mahasiswa untuk melanjutkan pendidikan tinggi mereka.
Dampak jangka panjang dari kenaikan UKT yang tidak diiringi dengan kenaikan pendapatan bisa sangat merugikan. Jumlah mahasiswa yang mampu melanjutkan pendidikan tinggi menurun, menyebabkan angka putus kuliah meningkat. Hal ini akan mengurangi kesempatan generasi muda untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan memperbaiki kondisi ekonomi keluarga mereka. Dalam skala yang lebih luas, terhambatnya akses pendidikan tinggi dapat menghambat mobilitas sosial dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap keputusan kenaikan UKT melalui kajian yang mendalam dan memiliki dasar hukum yang jelas. Proses ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk perwakilan mahasiswa, untuk memastikan transparansi dan keadilan. Kajian akademis dan ekonomis dilakukan untuk menentukan kebutuhan dan dampak dari kenaikan tersebut, mempertimbangkan biaya operasional, standar pendidikan, serta kemampuan ekonomi mahasiswa dan keluarganya.
Ancaman Kegagalan Bonus Demografi Indonesia Emas 2045
Indonesia sedang berada di ambang bonus demografi, di mana jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dibandingkan dengan usia non-produktif. Bonus demografi ini diperkirakan akan mencapai puncaknya pada tahun 2045, yang sering disebut sebagai Indonesia Emas. Potensi ini bisa menjadi pendorong signifikan bagi pertumbuhan ekonomi, namun juga menghadirkan tantangan besar, terutama dalam bidang pendidikan.
Kenaikan UKT yang tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan masyarakat dapat mengancam upaya pemerintah dalam memanfaatkan bonus demografi ini. Semakin sedikit masyarakat yang mengenyam pendidikan tinggi akan berarti lebih banyak tenaga kerja yang kurang terampil dan kurang berpendidikan. Ini akan menghambat produktivitas dan daya saing Indonesia di pasar global. Kegagalan memanfaatkan bonus demografi dengan baik dapat berakibat pada hilangnya peluang emas untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan sosial.
Selain itu, kurangnya akses ke pendidikan tinggi akan memperdalam ketimpangan sosial dan ekonomi. Pendidikan tinggi adalah salah satu jalan utama bagi mobilitas sosial, memungkinkan individu untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Jika hanya sebagian kecil masyarakat yang mampu melanjutkan pendidikan tinggi, maka ketimpangan akan semakin melebar, dan upaya pemerintah untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur akan terhambat.
Pemerintah harus mencari solusi yang efektif untuk memastikan bahwa kenaikan UKT tidak mengorbankan akses pendidikan bagi semua lapisan masyarakat, demi mencapai tujuan Indonesia Emas 2045 yang sejahtera dan berdaya saing tinggi.Memang Indonesia sudah Merdeka dari 1945, namun untuk komitmen terhadap Pendidikan nampaknya pemerintah masih harus banyak belajar dari Politik Etis Pamerintah Hindia Belanda.